Bagiku.. menderita
skoliosis itu adalah takdir yang Allah tuliskan sejak 12-13 tahun lalu.
Ntah apa penyebab
pasti dari skoliosis yang ku derita, hingga kini tak pernah kudapatkan
penjelasan pasti dari semua dokter yang ku temui..
13 tahun lalu saat
usiaku 14 tahun, ketika seorang anak perempuan yang baru beranjak remaja telah dihadapkan
oleh suatu penyakit yang asing di telinga yang mereka bilang tak ada obatnya..
sungguh membuat hatiku menciut dan ga
tahu harus berkomentar apa kepada sang dokter, ibu yang menemani ku berobat,
dan pada diriku sendiri. Seorang gadis kecil yang polos dan tak tahu apa yang
sebenarnya terjadi pada dirinya. Yang dirasa hanyalah pegal dan nyeri di
pundak, punggung, hingga pinggang.. tak ada satupun obat yang diresepkan oleh
dokter untuk mengurangi rasa sakit yang kuderita. Saat itu dokter hanya
menyarankan agar aku memesan brace untuk ku kenakan slama full 23 jam.. mungkin
hanya mama yang mengerti maksud dokter, tapi tak bisa memenuhi saran dokter
karena ekonomi keluarga kami yang tidak memungkinkan untuk memesan brace dengan
harga yang ditawarkan. Dan q mengerti kesedihan mama.
Dalam hati ku berkata
“biarlah tak perlu memesan apapun untuk tubuhku, q yakin Allah Maha Adil, tak
ada satupun penyakit yang tak ada obatnya. Dari kecil RS bukanlah tempat yang
asing bagiku. Maka untuk sakitku kali ini, pasti Allah akan menyembuhkannya
juga. Kalo bukan hari ini, ya besok.. jika bukan besok.. minggu depan, ataw
mungkin bulan depan. Sakitku pasti sembuh”
Sehari.. 2 hari..
seminggu.. bahkan sebulan lebih ku menunggu sembuh.
Seiring berjalan
waktu.. rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Dan yang membuatku sedih adalah sakitku
itu diiringi oleh pertumbuhan tulang belakang yang tak wajar.. bila teman-temanku
semakin tinggi ke atas, tapi tubuhku justru semakin melengkung.. Ya Allah apa
yang terjadi denganku??
Usia ku kini hampir
15 tahun, siap naik ke kelas 3 smp.. Q sedih..
q sakit.. q malu dan minder..
Saat rasa sakit itu
menyerang, pelan-pelan q hampiri mama dan bertanya..”ma.. dhe sakit ap sich? Kita
ga ke dokter lagikah? Badan dhe kenapa ga lurus kaya teman-teman?”
Mama mendekat dan memeluk
ku erat sambil berkata “kita ga berobat ke Rumah Sakit lagi sayank, nanti mama
cari tempat berobat yang bagus buat dhe ya.. dhe yang sabar dan tegar ya
sayank.. dhe kan anak pintar.. dhe rajin berdoa sama Allah supaya cepet sembuh”
Dalam dekapan yang
erat itu, kurasakan ketegaran seorang Ibu yang berjuang seorang diri, berusaha menyembuhkan
putri kesayangannya.. teringat jelas dalam memory otakku rekam wajah mama yang
tersenyum menutupi kesedihan dengan raut wajah dihiasi mata merah tanpa air
mata.. sungguh sosok Ibu yang luar biasa hebat dan tegar!!
Selang beberapa bulan
kemudian, mama tersenyum dan mengajakku berobat di suatu daerah yang berlokasi
di jakarta selatan (kawasan komplek MPR) mama bilang itu pengobatan alternatif.
Yang mengobati adalah ahli tulang dan para pasiennya banyak yang cocok dan
sembuh setelah mendapat penanganan darinya. Biaya berobatnya pun seiklas pasien
dan tidak ditentukan tarifnya.. itu lebih baik daripada memesan brace dengan
harga jutaan rupiah.
Q senaaang bangetz
denger penjelasan mama. Sama seperti mama yang semangat dengan segudang
harapan, Q pun ga kalah optimis dan yakin bahwa inilah cara Allah menyembuhkan
penyakitku.
Libur sekolah
(minggu) dengan langkah pasti kami berdua pergi ke tempat alternatif tersebut. Rute
dari rumah ke terminal blok-M, lanjut naik angkot 605A turun di halte MPR II.
Untuk pertama kalinya
dihidupku berobat ke tempat alternatif patah tulang. Banyak sekali ku temui
orang-orang dewasa yang berobat. Sebagian besar karena kecelakaan hingga
tubuhnya memar, ada juga yang patah, dan semua sembuh di tempat itu.
Saat diriku di pegang
dan di urut oleh ibu haji yang ahli tulang itu, lidahku tak berhenti menyebut
asma Allah karena rasa sakit yang luar biasa. Usai di urut, badanku dibaluri
obat (minyak urut ramuan) dan ditutup oleh kapas, papan sebagai penyangga
punggung dan terakhir di lilit oleh perban coklat. Rasanya sangat tidak nyaman,
apalagi dengan aroma minyak urut yang kurang sedap tercium dari hidungku. Dan saat
pake bajupun, terlihat ada yang menonjol di belakangku.. membuat diriku ga
nyaman. Gimana kalo teman sekolahku menyadari perban yang ada di badanku? Bagaimana
bila saat bermain bersama, mereka memegang punggungku yang kaku karena papan
dan perban yang terlilit di tubuhku? Apa yang harus ku katakan pada mereka
semua? Bagaimana aku harus bersikap di hadapan teman-temanku kini??
Mulailah rasa minder
menyelimuti hidupku. Dan sejak saat itu, q menjadi menarik diri dari lingkungan
bermainku di sekolah dan dirumah. Menjadi sosok yang penutup dan sensitif.
Q pikir pengobatan
ini hanya berlangsung beberapa minggu saja, tapi ternyata jauh diluar
perkiraanku.. 1 tahun lebih berobat, mencoba tetap tekun dan sabar namun tak
jua menemukan hasil. Yang menyedihkan justru lengkung tubuhku semakin bertambah
parah dari sebelumnya. Hingga akhirnya kami putuskan untuk berhenti berobat.
Rasanya ingin sekali
menangis dan menjerit.. ini adalah sakit terlama yang ku derita seumur
hidupku..
Ya Allah, rasanya
sungguh tidak nyaman sekali. Pegal, nyeri, sakit yang slalu rutin dirasakan
setiap hari.. membuat tubuhku semakin lemah dan tak berdaya..
>> to be
continued <<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar